Shadow

Berita Utama: Gugatan di Mahkamah Konstitusi Mengupayakan Batas Masa Jabatan Dua Periode untuk Anggota DPR

Jakarta, SDM – Pembatasan masa jabatan anggota DPR diminta Muhammad Zainul Arifin Eks Caleg PPP menjadi dua Periode dengan menggugat ke (MK) Mahkamah Konstitusi. Hal itu menjadi pandangan Eks Caleg PPP dengan tidak dibatasinya periode masa jabatan akan menjadikan sirkulasi lembaga legislatif tidak berjalan dimana wajah baru akan sulit menang dengan mengisi posisi legislatif tersebut.

Muhamad Zainul Arifin menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) meminta adanya pembatasan masa jabatan anggota DPR menjadi dua periode. Menurutnya, dengan tidak dibatasinya periode masa jabatan menyebabkan sirkulasi kekuasaan lembaga legislatif menjadi tidak berjalan. Wajah baru sulit menang dan mengisi posisi legislatif.

Muhamad Zainul Arifin menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) meminta adanya pembatasan masa jabatan anggota DPR menjadi dua periode. Menurutnya, dengan tidak dibatasinya periode masa jabatan menyebabkan sirkulasi kekuasaan lembaga legislatif menjadi tidak berjalan. Wajah baru sulit menang dan mengisi posisi legislatif.

Dalam gugatannya, Zainul menguji konstitusionalitas materi dan penjelasan Pasal 76 ayat (4), Pasal 252 ayat (5), Pasal 318 ayat (4), dan Pasal 367 ayat (4) Undang-Undang 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang ketentuan masa jabatan anggota DPR, tetapi tidak mengatur tentang periodisasi jabatan.

Berikut rincian pasalnya:

Pasal 76 ayat (4), yang menyatakan: Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 252 ayat (5), yang menyatakan: Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 318 ayat (4), yang menyatakan: Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 367 ayat (4), yang menyatakan: Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.

“Bahwa dalam ketentuan pasal a quo, masa jabatan anggota legislatif tidak ditemukan adanya pembatasan periodesasi. Dalam ketentuan a quo hanya terdapat pembatasan masa jabatan,” kata Zainul dalam gugatannya, dikutip dari laman MK, Senin (28/10).

“Sehingga dengan demikian, tatkala jabatan anggota legislatif telah berakhir, seorang anggota legislatif masih dapat mencalonkan/menjabat lagi dalam periode selanjutnya meski sebelumnya telah pernah menjabat berkali-kali dalam jabatan yang sama,” sambungnya.

Menurut Zainul, tidak adanya pembatasan periodesasi jabatan anggota legislatif telah menyebabkan ketidakpastian dalam negara hukum Indonesia. Sebab, ketiadaan pembatasan periodesasi jabatan itu sama sekali tidak memberi kepastian perihal sampai berapa periode seorang dapat mencalonkan/menjabat sebagai anggota legislatif.

Padahal, menurutnya, negara hukum disebut sebagai negara hukum bila memiliki hukum-hukum yang berkepastian. Terutama dalam bentuk norma tertulis.

Dia mengatakan, efek lebih lanjut dengan tidak adanya pembatasan masa periode seseorang dapat menjabat sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota sebagai akibat adanya multitafsir tersebut adalah semakin mengecilnya kesempatan bagi warga negara untuk dapat menduduki jabatan tersebut.

“Termasuk Pemohon untuk memiliki calon yang lebih berkualitas, kredibel dan akuntabel,” kata Zainul.

Padahal, kata dia, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Sulitnya menduduki jabatan tersebut, kata Zainul, karena ‘wajah lama’ yang kembali menang pemilu memiliki kemampuan baik kekayaan, sarana, prasarana, lebih baik ketimbang ‘wajah baru’. Dia menilai periodisasi ini harus dibatasi.

“Suatu jabatan publik yang mengandung kekuasaan atau kewenangan di dalamnya seharusnya dibatasi guna menghindarkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan,” kata dia.

Zainul pun membeberkan kerugian konstitusionalnya. Dia ikut Pileg DPR RI pada 2024 lalu melalui PPP untuk Dapil Jakarta II meliputi daerah Jakarta Pusat, Luar Negeri, dan Jakarta Selatan. Namun, berdasarkan putusan KPU, ia gagal melaju ke Senayan. Dia mengantongi suara 2,923 suara dan menduduki peringkat ketiga pada suara calon dari Partai PPP.

Dia mengaku bersaing dengan ‘wajah lama’ atau calon petahana pada keanggotaan parlemen. Dalam gugatannya, Zainul merasakan pemilihan legislatif anggota DPR-RI dari waktu ke waktu kental didominasi oleh orang-orang lama yang sudah menduduki jabatan sebelumnya.

“Jabatan sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota merupakan jabatan publik sehingga jabatan itu memerlukan pembatasannya,” ujarnya.

Terkait gugatan tersebut, Zainul meminta MK untuk:

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan Pasal 76 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dimaknai ‘dan dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’;
  3. Menyatakan Pasal 252 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dimaknai ‘dan dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’;
  4. Menyatakan Pasal 318 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dimaknai ‘dan dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’;
  5. Menyatakan Pasal 367 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dimaknai ‘dan dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’; (Faiz)